Saya kurang
tahu, apakah ini "Kisah Nyata" atau "Fiksi" semata-mata, namun apa
salahnya dishare juga. Mungkin bisa menjadi bahan bacaan menjelang
tidur.
Pandangannya menerawang jauh ke arah ujung langit.
Mungkin kata-kataku tadi menyentakkan nuraninya. Di hatinya masih
terpatri kenangan tiga tahun silam. Ya, teringat dengan istrinya yang
waktu itu baru saja dinikahinya. Belum genap seminggu bergaul, dengan
sangat terpaksa ia harus meninggalkan istrinya itu, untuk kembali
menjalankan tugas, lebih cepat dari permintaan cutinya. Sebab ada tugas
mendadak, ia kembali dipanggil masuk barak. Hingga kini ia hanya
memendam kerinduan yang mendalam terhadap istrinya. Terakhir ia sempat
ke Medan pulang kampung menengok istrinya itu yang kini sudah tinggal di
rumah ibunya. Ya, cuma sekali itu dalam kurun tiga tahun terakhir ini,
sebab tugas demi tugas terus memanggilnya.
“Istriku sehat, ia
senang mendengar kabarku. Wah aku sudah jadi ayah, Yung. Tak terasa
sudah tua juga kita sebentar lagi. Tak terasa, sudah kakek-kakek saja
kita. Makanya kau cepat-cepat menikah, Buyung, sebelum kau terlambat,
nanti tua kau tak ada lagi gadis yang mau he… he…,” tuturnya dengan
logat Medan kental yang selalu menyapaku ketika ia menceritakan kabar
istrinya kepadaku.
Aku kadang hanya senyum kecil membalasnya.
Setidaknya di tempat tugas ini aku masih memiliki seorang sahabat.
Mungkin ia beruntung memiliki istri yang memahami kondisi dan pekerjaan
suaminya. Memang harus begitu menjadi istri seorang tentara. Apalagi
masa-masa perang dan keamanan negara terancam, sang istri pun harus siap
dengan risiko apa pun. Doa restu dan dukungan moral istri adalah sebuah
kekuatan yang tak terkira kuatnya membantu tegarnya semangat sang suami
dalam menjalankan tugas negara.
Cerita tentang Ramses, aku
teringat dengannya di Secaba dulu. Dia adalah temanku sesama pendidikan
dulu. Aku satu kompi dengan-nya, malahan aku satu kamar dengannya. Ia
mudah bergaul dan aku sangat akrab dengannya. Senasib sepenanggungan. Ia
sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri. Di barak aku seperti
mendapatkan seorang kakak laki-laki yang dulu selalu kuimpikan. Jika ada
kesempatan, aku selalu mengajaknya pulang ke kampung halamanku di
Bukittinggi, karena jarak Padangpanjang dengan kampungku tidak terlalu
jauh. Ia juga akrab dengan keluargaku, dengan ayahku. Ia termasuk
tentara yang disiplin. Di antara kami ia yang paling kuat. Tubuhnya
tegap dan tinggi kekar. Segala lomba adu kekuatan stamina di barak mulai
adu panco, push-up, sampai lomba lari, ia nomor satu. Tak ada yang
mampu mengalahkannya. Kami sering memanggilnya Letnan Samson. Tapi
masalah cewek dia paling apes. Setiap kali dia naksir cewek, cintanya
selalu kandas. Dalam pertemanan ia termasuk orang yang sangat setia
dengan yang namanya kawan. Pernah suatu kali kami sama-sama jatuh cinta
dengan seorang perawat di rumah sakit tentara. Karena ia lebih
menghargai pertemanan ia malah mengalah dan melepaskan sang perawat itu
menjadi pacarku.
Aku bangga dengannya, punya sahabat dan saudara
seperti Ramses. Semenjak tamat Secaba kami memang tidak lagi
bersama-sama, cuma kebetulan kami disatukan kembali dalam tugas di tapal
batas ini. Jadilah kami senasib sepenanggungan sambil reunian. Bedanya
cuma ia lebih laku dibandingkan denganku, ia sudah beristri dan malah
sudah menjadi ayah, sementara aku masih betah menjadi lajang.
Cerita itu turun seperti air hujan yang tercurah dari langit dan terus
mengalir menuju ceruk, kanal dan sungai-sungai di tepian bukit menuju
muara. Daun yang gugur berganti dengan tunas-tunas baru yang mendesak.
Musim hujan yang sembab berganti dengan kemarau yang kering. Siklus
hidup terus berjalan seperti roda yang berputar. Waktu demi waktu telah
kulalui di setiap tempat tugas dengan penuh rasa tanggung jawab meski
jemu kadang meraja. Hari-hari berganti, siang menjadi malam, pagi
menjelma, musim demi musim bergulir, seperti air mengalir tetapi
pemandangan yang kulihat masih tetap sama.
Rutinitas yang aku
lalui masih sama, tak ada yang berubah. Kehidupanku sebagai prajurit di
tapal batas tak jauh berubah. Masih sama seperti tahun sebelumnya. Yang
berubah mungkin aku tak lagi bersama Ramses, temanku itu, saudaraku itu,
si Letnan Samson. Ia sudah tak lagi satu tim denganku, tidak lagi
bersamaku di sini di pos jaga ini. Setengah tahun yang lalu ia ditarik
ke sebuah pos jaga baru di wilayah timur laut. Lebih jauh ke arah timur
provinsi ini. Aku sudah tidak lagi berkomunikasi dengannya; aku sudah
kehilangan kontak dengannya. Tetapi itu semua sudah aturan. Lagi aku
tegaskan, inilah kehidupan tapal batas. Sewaktu-waktu keadaan dapat
berubah. Kemarin aku masih dapat berkumpul dengan sahabat lama tetapi
mungkin besok kami sudah digilirkan, berpisah bahkan tak bertemu lagi.
Aku masih tetap di pos jaga ini.
Memasuki bulan ketiga keadaan
cukup berubah. Ancaman wilayah tapal batas mulai meningkat. Untuk itu
kami mesti meningkatkan penjagaan dan kewaspadaan. Ini bermula dari
semakin memanasnya situasi di beberapa tempat di Papua. Aktivitas
orang-orang bersenjata tak dikenal mulai berani menyerang kawasan vital
milik pemerintah.
Beberapa waktu yang lalu terjadi penembakan
demi penembakan terhadap tim penjaga aset pemerintah di Papua. Belum
dipastikan pihak mana yang bertanggung jawab. Disinyalir pihak Tentara
Pembebasan Papua Barat (TPN) atau pihak OPM. Belum lagi ulah residivis
bersenjata yang memanfaatkan masyarakat pribumi. Mereka mengeruk untung
di tapal berbatasan. Mereka kadang melakukan penyelundupan dan
perdagangan gelap. Persoalan lebih berat lagi, ada sinyalemen yang
mengatakan di balik aksi itu semua ada oknum tentara yang membeking.
Lagi-lagi rumor tidak sedap itu aku dengar. Beberapa minggu yang lalu
pos jaga TNI di distrik Skamto kembali diserang oleh OPM. Meski tak ada
korban jatuh di pihak TNI, ini menandakan aktivitas kelompok bersenjata
itu sudah kembali berani main petak umpet dengan TNI.
Desember
yang sembab di penghujung tahun. Lagi kuncup-kuncup hujan menyumbul di
antara ceruk-ceruk kabut langit kelam Papua. Dingin dan sembab bertahta
di mana-mana. Pohon- pohon tinggi menjulang di kaki-kaki bukit dan
jurang-jurang yang dalam. Kabut menyelinap dalam-dalam. Kami satu regu
baru saja melakukan patroli. Kami melewati sebuah sungai dan terus
menyusuri pinggirannya dengan senjata laras di tangan, dengan sikap
siaga kami terus bergerak. Beberapa kali kami berpapasan dengan penduduk
pribumi. Tidak ada hal-hal yang mencurigakan dari mereka. Mereka bukan
OPM atau TPN. Kali ini ada hal ganjil rasanya, ya ganjil bagiku karena
memang sama sekali aku tak mendapati Ramses di sampingku. Aku merasa
kehilangan dia, bagaimana kabarnya, entahlah.
Kami melewati
sebuah tebing yang curam, tebing itu kuyakini merupakan tapal batas
dengan negara tetangga Papua Nugini. Dengan sangat hati-hati kami
menyelidiki keadaan sekitar masih sepi, hanya suara gemericik air
sungai. Aku selaku pimpinan regu memerintahkan Serka Bambang untuk
mengamati suasana dari atas puncak tebing. Entah mengapa tiba-tiba saja
ada hal aneh yang aku rasakan, bukan karena tidak ada Ramses di reguku
tetapi sebuah hal lain. Naluri prajuritku menuntunku untuk waspada. Aku
memberikan aba-aba agar semua anggota regu yang kupimpin tetap dalam
kondisi waspada........
Benar saja di atas tebing ini kami
memperhatikan gerak-gerik beberapa warga pribumi, senjata mereka
lengkap. Kami yakin mereka bukanlah kelompok sembarangan, sebab di
antara mereka juga terdapat beberapa orang berbadan tegap dan memakai
sepatu laras dan berseragam layaknya tentara dan terlatih. Tapi siapa
mereka, belum dapat kupastikan apakah dari pihak TNI atau kelompok
separatis bersenjata.
Dari atas tebing kami masih terus
memperhatikan dengan sangat hati-hati. Jelas mereka tengah melakukan
sesuatu, tapi apa, belum bisa kami pastikan. Butuh jarak lebih dekat
lagi agar kami dapat mengamati gerak-gerik mereka dengan leluasa.
“Bang, kamu arah samping, sisir sebelah selatan. Aku dan yang lain
menyisir sebelah utara, dan kamu Rob, tetap berjaga dari atas sini.
Lindungi kami. Kita akan amati apa yang mereka lakukan,” tegasku
setengah berbisik.
Semuanya paham akan maksudku. Kami menyisir
pelan-pelan, menyelinap di antara semak belukar, mendekat ke arah
kelompok yang mencurigakan itu. Darahku berdegup kencang. Meski hal
semacam ini sering kualami, namun aksi pengintaian kali ini sungguh
sangat mencemaskan dan dramatik. Sebab, aku tahu hal ini berisiko tinggi
dengan terjadinya kontak senjata.
Ternyata mereka berasal dari
kelompok bersenjata, tapi di antara mereka ada yang mengenakan atribut
prajurit TNI. Siapa mereka, dan apa yang mereka lakukan? Belum hilang
rasa penasaranku,
Tang!.Tang!..Tang!! Retetet...! Retetet...! Retetet...!
Tiba-tiba bunyi tembakan memecah keheningan hutan ini. Aku berlindung
dan memerintahkan anggotaku untuk berlindung. Aku yakin keberadaan kami
sudah diketahui oleh mereka.
Tang!.Tang!..Tang!! Retetet...! Retetet...! Retetet...!
Tang!.Tang!..Tang!! Retetet...! Retetet...! Retetet...!
Rentetan tembakan kembali menyalak, aku membalas. Beberapa yang lain
juga membalas. Lama terjadi kontak senjata. Posisi kami di atas tebing;
mereka di bawah. Jelas kami sangat diuntungkan. Ditambah dengan latihan
perang yang kami miliki, dengan mudah kami dapat memukul mundur serangan
demi serangan dari kelompok itu.
Beberapa anggota kelompok itu
tertembak. Beberapa orang terkapar tak bernyawa, luka tembak di kepala.
Satu orang lagi masih bernyawa sementara dua orang anggota berhasil
kabur. Keberuntungan berpihak kepada reguku. Sama sekali tak ada anggota
reguku yang terluka. Kami menyisiri keadaan sekitar untuk memastikan
aman, mengumpulkan korban.
Sungguh aku tak menyangka, sungguh aku
tak menduga temanku Ramses, sahabatku si Letnan Samsonku itu, orang
yang aku banggakan, orang yang menyulut semangatku menjadi TNI, ternyata
kini terlibat dalam aksi yang memalukan ini. Ia yang kini berada di
depanku dengan satu luka tembak di kakinya. Ia ternyata diam-diam
terlibat sebagai anggota TNI yang membeking aksi perdagangan gelap ini.
“Munafik, jadi selama ini kata-katamu kepadaku hanya kedok semata,” ujarku.
Ia tak berkata lagi. Pandangannya jauh terhunus ke langit sesak. Hujan
masih menggelegar. Sore menjelang gelap itu semua begitu lembayung dalam
lembab. Entah rasa apa yang muncul dan bergejolak di benakku. Ia yang
kini terkapar di hadapanku adalah lawanku yang juga sahabatku.
“Kenapa, Ram, kenapa kaulakukan semua ini? Kenapa?”
Aku mengangkat kerah bajunya, aku emosi, aku kalut, aku marah padanya. Ia tersenyum kecut.
“Kau tahu, Yung, aku tak tahan lagi, Yung. Aku bosan hidup bersemedi
dengan segala kesengsaraan dan sama sekali aku tak mendapatkan apa-apa.
Ah persetan dengan pengabdian. Hidup tetap tak punya apa-apa. Gaji kecil
itu yang kuharapkan, aku muak aku bosan,” ujarnya dengan nafas sesak.
“Kini kau bukan sahabatku, Ramses. Aku baru sadar ternyata selama ini kata-katamu padaku hanyalah dusta semata.”
“Alah persetan dengan janji di barak dulu, persetan dengan segalanya,
dengan tanah Pertiwi ini. Apa lagi yang kita harapkan, Yung? Menjadi
tentara dengan gaji kecil hidup sengsara di tapal batas ini? Ingat,
Yung, istri kita, anak kita, keluarga kita butuh uang, butuh biaya. Jika
cuma mengandalkan gaji seorang tentara mana mungkin kita bisa
memenuhinya semua. “Hehe… hehe… di tapal batas ini memangnya ada
sahabat, Yung? Dasar prajurit idealis kere kau, Yung,” ujarnya mengejek.
Aku marah, aku panas dengan perkataan Ramses tadi, aku tampar ia dua
kali. Ia sama sekali tak membalasnya. Pipinya pecah darah segar
membasahi mulutnya, lalu bercampur dengan air hujan membasahi bajunya.
Aku menatapnya dalam-dalam. Aku tak menyangka akan bertemu dengannya
lagi dalam kondisi seperti ini, saling berhadapan dengan senjata laras
berhadapan. Pilu, hancur hatiku hilang seorang sahabat di hatiku. Aku
betul-betul telah dikhianati oleh seorang sahabat yang nyata-nyata dulu
aku kagumi. Aku sadar dari peristiwa itu, kehidupan di tapal batas
memang bisa memutarbalikkan semua yang ada. Termasuk arah dan jalan
pikiran seorang prajurit.
Peristiwa itu telah terjadi dua tahun
silam. Hujan demi hujan di tapal batas telah menghanyutkan segala
kenangan yang baik dan buruk. Yang baik menjadi kenangan, yang buruk
biarlah tersimpan atau terkubur dalam-dalam, tidak lagi untuk diingat.
Semenjak peristiwa itu aku tidak lagi mendengar kabar dari sahabatku itu
yang sudah aku anggap sebagai musuhku. Ia tidak hanya menjadi
pengkhianat dari persahabatanku, tetapi juga telah berkhianat atas
negara dan bangsa ini. Harusnya ia kubunuh saja dulu sewaktu di hutan
pinggir sungai perbatasan dulu. Akan tetapi nyatanya aku tak mampu. Aku
tak tega melihat bayangan istrinya dan anaknya yang masih
mengharapkannya.
Aku dan anggota reguku menyimpan rahasia tentang
kejadian baku tembak itu. Membungkus rahasia peristiwa baku tembak itu
dalam-dalam di palung hati kami masing-masing. Dalam hati aku berniat
akan melupakan Ramses dalam hidupku. Aku tak mau lagi mengingat si
pengkhianat itu dalam hidupku. Semenjak itu Ramses pun tak lagi aku
dengar kabarnya. Ia sudah menghilang seperti ditelan bumi.
Hujan
semakin menjadi-jadi, petir menggila, menebarkan lidah api
menjilat-jilat ke beberapa pohon. Suaranya bergemuruh hebat menyentakkan
setiap indra pendengaran makhluk hidup. Barangkali ini misi terakhirku
di tanah Cendrawasih ini. Sesudah keadaan aman aku berencana akan
meminta izin untuk menjenguk keluargaku, ayah dan ibuku. Aku rindu
mereka. Sudah beberapa hari aku di kota Jayapura. Keadaan sudah dapat
dikatakan aman. Aktivitas gangguan keamanan sudah tidak sering lagi
terjadi. Meskipun ada letup-letup kecil namun sudah dapat diredam oleh
TNI dibantu oleh Polda setempat.
Siang menjelang sore itu, itulah
misi terakhirku sebelum aku cuti pulang menuju kampung halaman. Misi
patroli udara dan menjemput beberapa personil TNI di beberapa distrik di
kabupaten Keerom sekaligus mengantarkan beberapa peralatan radar dan
alat komunikasi yang sudah diperbaiki untuk beberapa pos jaga. Dengan
menggunakan heli TNI AU jenis super puma SA330 kami berangkat dari
landasan terbang milik TNI di Jayapura. Heli yang dikendalikan oleh
pilot dan copilot, masing-masing Mayor Pnb. HXXX dan Lettu Pnb.GXXXXX
terbang dengan kondisi normal. Cuaca sedikit mendung tetapi tidak
mengisyaratkan akan memburuk. Selain aku, memang ada beberapa awak yaitu
teknisi alat radio, sementara tugasku memastikan pengiriman barang
sampai tepat waktu sekaligus mengangkut beberapa personil untuk dibawa
ke Jayapura. Entah mengapa di perjalanan tiba-tiba aku teringat dengan
mimpiku, mimpi yang sangat menakutkan, mimpi tengah menaiki heli yang
sama dan mengalami kecelakaan. Tidak hanya itu. Aku juga teringat dengan
kata-kata Ramses bahwa dalam kurun waktu 18 tahun terakhir sudah
tercatat 45 pesawat TNI yang jatuh. Ah, lagi-lagi apa peduliku terhadap
si pengkhianat itu. Aku mencoba mengelak dari pemikiran dan petakut ini.
Bunyi mesin heli meraung-raung. Beberapa saat heli yang dikemudikan
mulai sedikit oleng. Hujan yang tadi gerimis tiba-tiba berubah menjadi
lebat. Kabut gelap dan angin ribut memaksa heli terbang dengan kondisi
tak stabil. Ada rasa kuatir menyelinap di hatiku paling dalam. Pilot dan
copilot masih berusaha menghubungi landasan dan markas, tapi lagi-lagi
hubungan terputus.
Tiba-tiba kepanikan terjadi. Mesin heli
mendadak mati. Di ketinggian ini jelas sebuah hal yang sangat menakutkan
telah terjadi. Tubuh heli seperti di sedot alam. Inilah gaya gravitasi
itu. Kami ditarik kuat dan akan jatuh terhempas.
Prakkkkk....!!
Tubuh heli gaek buatan Prancis tahun 78 itu menghempas sebuah pohon
besar. Baling-balingnya menyebat apa saja lalu berhenti dan patah. Tak
lama kemudian tubuh heli ringsek dan lagi terhempas ke tanah. Dua
teknisi terlempar keluar. Copilot GXXXX tetap berada di bangkunya namun
tubuhnya terjepit di antara kerangka heli. Ah, tubuh Pilot HXXX. Dia
terlempar menghantam kaca heli dan jatuh ke tanah. Tubuhnya terhimpit
oleh heli, sangat mengenaskan. Aku gamang di antara sadar dan tak sadar.
Di manakah kami, aku tidak tahu. Yang jelas belum memasuki wilayah
distrik Asro, barangkali masih di perbukitan. Ah, jangan tanya bagaimana
keadaanku, aku sungguh tak tahu, tiba-tiba saja pandanganku gelap dan
semuanya hilang. Aku sadar telah mendapati diriku berada di RSPAD Gatot
Subroto Jakarta. Aku tengah menjalani perawatan intensif di rumah sakit
pusat itu. Setelah berhasil dievaluasi oleh Tim SAR dan anggota TNI saat
itu juga aku langsung dirujuk dan diterbangkan dari Papua menuju
Jakarta dengan pesawat khusus.
Setelah mengetahui secara pasti
heli super puma SA330 milik TNI hilang dan jatuh, tim SAR langsung
melakukan penyisiran di wilayah yang diduga kuat sebagai tempat jatuhnya
heli. Tak lama Tim SAR menemukan puing heli dan mengevakuasi korban.
Satu-satunya korban yang selamat dalam peristiwa itu adalah aku.
Selebihnya ditemukan dalam kondisi yang sudah tak bernyawa.
Aku
ditemukan dalam kondisi kritis di antara sadar dan tak sadar. Tapi dalam
ingatanku jelas salah seorang Tim SAR yang memapah tubuhku itu adalah
Ramses, temanku dari Medan yang juga anggota TNI itu. Di ruangan itu aku
terbujur tak berdaya. Tubuhku masih lemah, lengan dan kakiku dibalut
perban dan baru saja selesai dioperasi. Di sampingku sudah berdiri
ayahku yang sengaja didatangkan pihak TNI dari kampung halamanku. Ia
sama sekali tidak memperlihatkan raut sedih. Ia terlihat tegar dan
mengusap keningku.
“Ayah harap kau tegar, Yung!”
“Terima kasih, Ayah. Ibu di mana, Yah?”
“Ia di kampung tidak bisa ikut. Ia sehat-sehat saja. Jika kau pulih
nanti kita pulang ke rumah. Ia rindu sama kamu, Nak,” ujar ayah.
Entah mengapa aku melihat ada mendung di wajah ayah. Aku seperti berdosa
pada diriku sendiri. Wajahnya, meski ia berjuang menutupi kegundahan di
hatinya akan apa yang menimpaku, keadaan hidupku kini, tetapi aku jelas
sekali melihat ada kegalauan di matanya. Membaca sebuah kegetiran pada
dirinya. Semangatnya, jiwa nasionalismenya yang dulu menggebu-gebu, kini
kian pudar seiring raut wajahnya yang semakin senja.
Tak lama,
di sela perbincangan itu muncul sosok kekar dan tegap. Pandanganku
tertuju pada lelaki yang baru saja masuk ke ruangan itu. Ia membalas
menatapku. Ia Ramses si sahabatku, si pengkhianat itu.
“Gimana kabar kau, Buyung. Aku sengaja datang kemari hanya untuk melihat sahabatku, Yung,” ujarnya.
Dalam hatiku berkecamuk antara benci dan rindu. Berani-beraninya ia
mengatakan aku sahabatnya. Jika aku sehat ingin rasanya aku tembak dia
sekarang juga. Tanpa merasa berdosa ia menampakkan diri lagi di
hadapanku. Tak punya rasa malu. Pelan aku menarik nafas. Mata kami
beradu. Ia memelukku. Matanya berkaca-kaca.
“Kita impas, Yung. Maafkan aku, Yung,” ujarnya.
Aku paham kata-katanya, ia sudah membayar hutangnya, atas kesalahan
masa silam dengan menyelamatkan nyawaku dengan ikut sebagai Tim SAR
dalam pencarian heli yang jatuh itu. Penghujung tahun itu hujan
menderas, menggila menyetubuhi bumi dengan segala rintiknya. Di
penghujung Desember yang sendu dan sembab ini semuanya tiba-tiba berubah
menjadi mendung lalu berat dan menggugurkan bayi-bayi gerimis. Jika
kuingat hujan aku selalu teringat posku di tapal batas; aku teringat
aroma tanah Cendrawasih; aku teringat peristiwa di pinggiran sungai di
perbatasan itu. Aku sungguh belum bisa memaafkan Ramses. Ia lebih dari
sekedar sahabat yang berkhianat. Ia adalah pengkhianat bangsa dan negara
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar