Cari di blog ini

Jumat, 14 Agustus 2015

30 HARI

30 HARI

Cerpen Karangan: 
Lolos moderasi pada: 20 July 2015
“Kamu divonis mengidap penyakit Kanker Otak stadium akhir, waktumu tersisa 30 hari lagi dan maafkan kami. Selesaikan urusanmu yang ada disini”. Kata-kata itu menghantam jantungku, bagaimana mungkin aku bisa mengidap penyakit ini? Aku masih muda dan aku masih punya cita-cita. Bagaimana mungkin Tuhan tega kepadaku? Apakah salahku kepada-MU Tuhan? Sebegitu bencinyakah kau terhadapku? Aku mempertanyakan itu sepulang aku dari Rumah Sakit.
Aku memutuskan untuk mengakhiri hidupku pada malam itu, aku tak kuasa menerima semua ini. Ketika aku ingin melompat di sebuah jembatan, ada seseorang menarikku, laki-laki itu memelukku dan berteriak marah “Apa yang kau lakukan? Sependek itukah pikiranmu?” aku membalas berteriak kepadanya. “Apa masalahmu? Kau orang asing, stop mencampuri urusanku!!!” bercucuranlah air mataku saat itu. “Kau bodoh, kau punya kehidupan dan kau rela membuangnya dengan percuma.” Balasnya. “Apa bedanya jika aku mati? Hari ini atau 30 hari lagi. Aku akan tetap mati” aku mengucapkannya sambil terisak. “lalu apa bedanya aku dan kamu? Aku juga akan mati pada akhirnya. Hari ini, besok atau bahkan saat ini.” “tapi kau tidak menderita penyakit mematikan ini, kau tidak mengalaminya, bukan kau yang divonis hidup 30 hari.” Aku mengucapkannya sambil marah, apa peduli orang ini? Mengapa dia repot-repot menyelamatkanku dan repot-repot menolongku?
“Baiklah jika itu maumu, silahkan lompat, permalukan dirimu di depan Tuhan, permalukan keluargamu di masyarakat. Kau tau? Kau menyedihkan bukan karena penyakitmu tapi karena pikiranmu. Datanglah besok jam 1 di depan Rumah Sakit, aku akan menunjukkan sesuatu kepadamu, bahwa aku akan membuat 30 hari terakhirmu menjadi bermakna, menjadi hidup walau mungkin hanya 30 hari, kumohon percayalah kepadaku, bahkan kau tidak mengenalku.” Ucapnya dengan tulus, “ngomong-ngomong namaku Indra, dan senang berkenalan denganmu. Sebaiknya kau pulang dan persiapkan dirimu untuk petualangan yang indah besok. Percaya Padaku.” Dia melanjutkan. Dan orang asing itu pergi meninggalkanku begitu saja, seenaknya saja dia memerintahku untuk melakukan semaunya dia.
Malam itu aku pulang, bodohnya aku pun menyiapkan diri untuk besok sesampai di rumah dan langsung tidur terlelap. Memangnya ada apa besok? Hanya hari-hari bodoh bersama orang asing yang menjengkelkan dan suka ikut campur, walau kuakui orang asing bernama Indra itu tampan, dengan tinggi semampai dengan postur tubuh yang indah, ah seperti malaikat saja.
HARI 1 – 29
Yap masuk ke hari pertama dimana berarti sisa 29 hari lagi, aku datang siang itu pukul 1 kutunggu dia di rumah sakit. Lalu secara mengagetkan dia muncul di hadapanku membawa ice cream vanilla, aku tak mengerti kenapa dia bisa tau apa yang aku suka atau ini memang mungkin hanya kebetulan semata.
“Sudah siap?” tanyanya. Aku menjawab “Yah siap untuk menjalani hari pertama”. Kataku tak acuh. “Hei semangatlah, kau akan mengalami sesuatu sebagai pembelajaran hidupmu hari ini.” Ucapnya sambil tersenyum. “oke, oke orang asing, mau kemana kita hari ini?”. “jangan hancurkan kejutannya. Kau akan tau nanti”. Sambil menggandeng tanganku kami pergi ke motornya. Aneh sekali aku tak marah sedikitpun ketika dia menggandeng tanganku, orang asing aneh yang membuatku nyaman.
“Kita sudah sampai, di yayasan untuk anak-anak kanker di Indonesia”. Sambil tersenyum dia menolongku turun dari motornya. “Mengapa kita disini? Aku tak mau disini.” Ucapku sambil sedih. “Kau harus disini, percayalah kau akan bahagia disini.”
Hari itu aku melihat, memperhatikan dengan takjub ketika Indra membantu anak-anak tersebut dan menghibur mereka, seolah anak-anak itu adalah keluarganya, Anak-anak ini mengidap penyakit yang sama terhadapku, anak-anak ini tak menyerah dan tetap semangat. Mereka menghargai kehidupan sebagaimana semestinya. Mereka bahagia walau mereka tau hidup mereka tak akan lama lagi. Aku merasa malu, tak kuasa aku menahan tangisku dan Indra melihatku, aku pun hanya tersenyum dan berkata “Aku mau ke toilet” sambil menunjuk keluar.
Aku tak masuk kembali ke ruangan, aku duduk di sebuah ayunan sambil melamun ketika seorang anak mengejutkanku. “Kakak, ngapain disini? Kok gak masuk ke dalam?” dia berkata. “gak papa kakak lagi pengen duduk disini aja, kamu ngapain disini?”. “Aku disini karena aku pengen menikmati alam ini aja, udaranya, mataharinya, selagi aku bisa aku harus menikmati apapun yang Tuhan berikan.” Aku merasa tersentuh mendengarnya. Aku mendekapnya dan berkata “Mulai saat ini kita berteman, namaku Rani, siapa namamu?.” “Namaku Rere, dan aku akan sangat senang menghabiskan waktu dengan kakak.” Dengan tulus dia tersenyum.
Setiap hari semenjak hari pertamaku ke rumah anak-anak itu aku mengahabiskan waktuku dengan Indra, dia baik sekali kepadaku sampai aku tak kuasa terharu dan tersenyum. Kami bermain ke taman air, wahana hiburan dan pergi bersenang-senang sampai aku lupa kalau aku mempunyai penyakitku. Sampai pada akhirnya kondisiku yang begitu lemah, aku terjatuh dan pingsan, aku dirawat di rumah sakit, dan Indra setia menemaniku, kami menghabiskannya dengan bermain kartu, monopoli atau bahkan hanya sekedar bercanda-canda. Aku mulai mencintainya.
“Besok adalah hari terakhirku, hari ke 30-ku, aku takut. Tak inginkah kau ucapkan sesuatu?” aku berbicara sambil menahan air mataku. “sssttt… hidup dan mati di tangan Tuhan, apa yang kau inginkan di hari terakhirmu jika itu memang hari terakhirmu? Apa yang ada dalam prioritas keinginanmu? Kumohon katakanlah.” Ucapnya sambil menggenggam tanganku. “Aku punya daftar bodoh dalam hidupku, ada 10 keinginanku dan 9nya sudah aku wujudkan bersamamu.” Aku berucap dengan lirih. “Lalu apa keinginan terbesarmu, apakah aku dapat membantumu mewujudkannya?” “itu hanya sebuah keinginan bodoh yang diucapkan oleh anak kecil yang suka berkata ceplas-ceplos.” Aku terkekeh. “Apa itu?” ucapnya serius. “Oke baiklah mister yang tidak ingin teralihkan, aku ingin menikah di sebuah mesjid lalu berpesta di sebuah pantai dengan nuansa warna putih, semua harus putih dan hanya aku dan pasangankulah yang memakai kostum berwarna merah muda. Bagaimana? Bodoh kan?” “Sama sekali tidak bodoh, itu hanya permintaan yang indah dari seorang anak kecil.” Dia mengucapkannya sambil mencium keningku. “Izinkan aku pergi sebentar, aku hanya harus mengurus sesuatu. Aku mencintaimu.” Dia mengucapkan di telingaku, tak ada tuntutan, tak ada rayuan, tak ada kepalsuan, hanya ucapan tulus yang terdengar dan dia pun pergi.
HARI 30
Aku takut ya Tuhan, kumohon jangan biarkan hari ini terlalu sakit.
Lalu datanglah Indra hari itu, dengan kemeja merah muda dan jas hitamnya, dia terlihat tampan sekali. Aku berkata “kamu dari mana saja? aku hampir takut kau tak akan menemaniku hari ini. Aku takut, Indra”. “Jangan, jangan takut sayang, aku pergi mengurus sesuatu. Aku disini bersamamu, aku selalu bersamamu. Aku hanya ingin mengucapkan sebuah kalimat ‘maukah kamu menikah denganku?’” ucapnya sambil berlutut dengan menunjukkan sebuah cincin indah. Aku terkejut “Jangan bercanda, pernikahan bukanlah suatu permainan, kumohon jangan bercanda.” ucapku lirih. “Tak ada kata bercanda dalam kamusku jika itu menyangkut mencintaimu dan bersamamu, tidak ada. Hari ini aku berlutut di hadapanmu bersungguh-sungguh. Aku hanya ingin bersamamu, ketika aku melihatmu keluar dari rumah sakit hari itu aku mengikutimu, aku terpesona olehmu dan aku mencintaimu. Jadi maukah kamu menikah denganku?” aku tak kuasa menahan tangis, air mataku tumpah membasahi pipiku, sambil berucap dalam air mataku aku mengatakan “ya, aku mau”. dan dia langsung menciumku sambil memasangkan cincin ke jari manisku. “Kau akan menjadi istriku, di dunia ini, di alam sana nanti, dimanapun kau akan menjadi istriku, pertama dan satu-satunya.”
Hari itu aku menikah dengannya, dengan tema putih, dihadiri orang-orang tersayangku dan di sebuah pantai yang indah. Aku merasa bahagia, aku tak tau ini berlangsung sampai kapan tapi aku bahagia dengan pernikahanku, bersama orang yang paling kucintai. Tak ada tandingannya di bumi ini selain sebuah kata “bahagia”.
HARI SETELAH HARI 30
Aku masih hidup sampai hari-hari berikutnya, membangun rumah tangga bersama suamiku, seorang lelaki terhebat dan pada malam itu aku bersamanya. Duduk di serambi rumah, aku bersandar kepadanya. Aku mengucapkan betapa beruntungnya aku bertemu dengannya, bersamanya dan merasakan cinta darinya. Dia mengecupku dan aku pun memeluknya. Aku menghembuskan nafas terakhirku dalam dekapannya. Semua gelap, hanya tersisa sebuah mata yang menangis menatapku. Aku pun tertidur untuk selamanya, meninggalkan suamiku, laki-laki yang paling berharga dalam hidupku.


Cerpen Karangan: Vanda Deosar
Blog: http://vandadeosar.blogspot.com
Hallo Nama saya Vanda Deosar, saya bercita-cita menjadi penulis. Tapi menulis saya masih berantakan, mohon dimaklumi. Saya seorang mahasiswi yang sehari-harinya bekerja untuk survive. Saya pecinta Sherlock Holmes, Harry Potter dan Real Madrid. Musik yang saya dengar cukup simple yaitu westlife dan maroon 5. Saya suka sekali dengan film dan buku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar